Kamis, 24 Maret 2011

OTONOMI DAERAH



I.       PENDAHULUAN
            Ilmu  -  ilmu  Pemerintahan  melakukan  analisis  mengenai  aspek-aspek  nyata  serta  persyaratan  pemerintahan  sebagaimana  adanya.Ilmu–ilmu  Pemerintahan  sudah  puas  bila  dapat  menjelaskan  suatu  proses  pemerintahan  yang  sesuai  atau  menyimpang  dari  azas  atau  hukum  yang  menjadi  landasannya.
            Berbeda  dengan  filsafat,  tidak  puas  dengan  analisis  atau  kesimpulan  seperti  itu,  filsafat  masih  mempertanyakan  mengapa  analisis  atau  kesimpulan  seperti  itu  dikaji  apakah  ada  sesuatu  yang  mendorong  ke  arah  itu,  apakah  dibelakang  proses  yang  terjadi  yang  mmempengaruhi  aparatur  pemerintahan  mengambil  kesimpulan  atau  kebijakan  seperti  itu.  Atau  apakah  tidak  ada  kebenaran  lain  dibelakang  apa  yang  disimpulkan,  serta  adakah  pertimbangan  lain  yang  menuju  pada  hakikat  (essensi)  dari  segala  sesuatu  aspek  dan  kejadian  pemerintahan  yang  disusun  dengan  sistem  desentralisasi  atau  Otonomi  Daerah.
            Pemerintah  pada  hakikatnya  adalah  pelayanan  kepada  masyarakat,  Pemerintahan  tidaklah  diadakan  untuk  melayani  dirinya  sendiri  tetapi  untuk  melayani  masyarakat.  Pemerintah  harus  mampu  menciptakan  kondisi  yang  memungkinkan  setiap  anggota  masyarakat  dapat  mengembangkan  kemampuan  dan  kreatifitasnya  demi  mencapai  kemajuan  bersama.  Oleh  karena      itu   pemerintahan    modern    apalagi   di   era   globalisasi   ini,   perlu   semakin  didekatkan  kepada  masyarakat  sehingga  pelayanan  yang  diberikannya  menjadi  semakin  baik  (the  closer  government,  the  better  is  services).
            Dalam  teori  Ilmu  Pemerintahan,  salah  satu  cara  untuk  mendekatkan  pemerintah  kepada  masyarakat  adalah  dengan  menerapkan  kebijakan  otonomi.  Essensinya  kalau  pemerintahan  berada  dalam  jangkauan  masyarakat,  maka  pelayanan  yang  diberikan  menjadi  lebih  cepat,  hemat,  responsive,  akomodatif,  inovatif  dan  produktif.
            Secara  konstitusional,  Pemerintah  Indonesia  di  era  reformasi  dewasa  ini  cukup  memperhatikan  pentingnya  menerapkan  strategi  desentralisasi  dengan  melahirkan  Undang - Undang  No.  22  Tahun  1999  tentang  Pemerintahan  Daerah,  Undang – undang No.  25  Tahun  1999  tentang  Perimbangan  Keuangan  Pusat.
            Dalam  Undang - Undang  tersebut  ditegaskan  bahwa  dengan  pemberian  otonomi  kepada  Daerah,  maka  seluruh  kewenangan  Daerah  mencakup  kewenangan  dalam  seluruh  bidang  Pemerintahan,  kecuali  kewenangan  dalam  bidang  politik  luar  negeri,  pertahanan  keamanan,  peradilan,  moneter  dan  fiscal,  agama,  serta  kewenangan  bidang  lain.  Pada  bagian  lain  dalam  Undang – Undang  tersebut  juga  ditegaskan  bahwa  otonomi  yang  diberikan  adalah   bersifat   kewenangan   untuk   mengatur    dan    mengurus    kepentingan            masyarakat  setempat  menurut  prakarsa  sendiri  berdasarkan  aspirasi  masyarakat  dalam  kerangka  Negara  Kesatuan  RI.
            Kebijakan  Otonomi  yang  didasarkan  pada  Undang – Undang      No.  22  Tahun  1999  tersebut  menimbulkan  implikasi  yang  sangat  luas  terhadap  penyelenggaraan  pemerintahan  Daerah,  salah  satu  yang  sangat  dominan  adalah  aparatur  pemerintah  sebagai  pelaksana  dan  penyelenggara  kebijakan  tersebut.  Sejak  pemerintahan  Orde  Baru  aparatur  pemerintah  yang  disebut  Pegawai  Negeri  Sipil  dan  ABRI  semua  terkonsentrasi  di  Pusat  baik  pengangkatan,  penempatan,  pemindahan  dan  mutasi,  maupun  pemberhentian.  Sedangkan  dalam  sistem  Otonomi  Daerah  PNS  yang  bekerja  di  Daerah  sepenuhnya  menjadi  kebijakan  Daerah.  Berdasarkan  realitas  PNS  yang  ada  di  Daerah  dewasa  ini,  baik  jumlah  maupun  kualitas  sangat  kurang  dibandingkan  dengan  kebutuhan.
            Apabila  kehendak  menerapkan  Otonomi  Daerah  secara  sungguh – sungguh,  maka  Lembaga – lembaga  Pemerintahan  Daerah  membutuhkan  tidak  hanya  jumlah  aparatur  yang  lebih  besar,  tetapi  juga  tuntutan  akan  keterampilan  dan  pengetahuan  yang  sesuai  dengan  kebutuhan  organisasi  menjadi  lebih  tinggi.
            Dalam  hubungan  bagaimana  realitas / gejala  empiris    tersebut  dikaji,  Penulis  mencoba  mendekati  dengan  metode  induktif  dari  hal – hal  yang  khusus   tersebut   ke   hal    hal   yang   umum   sehingga   dapat  ditemukan  apa  yang  menjadi  implikasi   kebijakan  Otonomi  Daerah  terhadap  aparatur  pemerintahan. 




II. KENDALA  YANG  DIHADAPI  APARATUR  PEMERINTAH  DALAM  PENERAPAN  OTONOMI  DAERAH.
            Sebagaimana  telah  disinggung  dimuka,  kebijakan  otonomi    Daerah  memiliki  implikasi  yang  luas,  khususnya  terhadap  aparatur  pemerintahan.  Terjadinya  penyerahan  kewenangan  yang  begitu  luas  menjadikan  hampir  semua  urusan  pemerintahan  ditangani  daerah,  sementara kelembagaan  di  Daerah  Kabupaten  dan  Kota  belum  memadai  sehingga  lahir  tuntutan  penambahan  jumlah  lembaga  Dinas  Daerah, berikut  peningkatan  kebutuhan  jumlah  aparatur  pemerintah  daerah  serta  kualifikasi  kepemimpinan  dan  propesionalisme  yang  tinggi.  Padahal  disisi  lain  kelembagaan  ditingkat  pusat  semakin  cenderung  membentuk  perilaku  sentralistis  dan  bahkan  mengembangkan  sayapnya  ke  daerah-daerah,  dengan  membentuk  badan  atau  lembaga  sejenisnya  yang  bersifat  dekonsentrasi.
            Undang-undang  No.  22  tahun  1999  tentang  Pemerintah  Daerah,  telah  mengamanatkan  bahwa  undang-undang  ini  terapkan  secara  efektif  selambat-lambatnya  dalam  waktu  dua  tahun  sejak  ditetapkannya                ( pasal  132 ),  yaitu  tanggal    7     Mei     2001.    Namun    kenyataan    dilapangan    kesiapan    untuk penerapan  secara  penuh  undang-undang  tersebut  masih  jauh  dari  harapan.  Salah  satu  contoh  bahwa  lembaga-lembaga  pusat  yang  dikonsentrasikan  di  Daerah  ternyata  masih  berjalan  seperti  biasa  belum  ada  perubahan  sama  sekali,  sedangkan  ketentuannya  harus  sudah  hapus  atau  dilikuidasi  kedalam  Dinas - Dinas  Daerah  yang  sejenis.  Demikian  juga  mengenai  aparatur  sama  sekali  belum  ada  penyelesaian  baik  penyerahan,  penempatan  maupun  pengurusannya  masih  sepenuhnya  ditangani  oleh  Pemerintah  Pusat  ( sentralistis ),  pembiayaan  dalam  rangka  Otonomi  Daerah  yang  semestinya  juga  diserahkan  ke  Daerah  secara  penuh,  tapi  ternyata  dalam  APBN  Tahun  2000  dan  RAPBN  Tahun  2001  belum  mencerminkan  penerapan  Otonomi  Daerah   secara  sungguh – sungguh,  pada  hal  masa  berlaku  efektifnya  dimulai  bulan Januari  Tahun  2001.
            Kendala  yang  diuraikan  tadi  semuanya  berimplikasi  pada  aparatur  pemerintah  yang  dalam  keseharian  bertugas  dan  berkewajiban  menyelenggarakan  pemerintahan  daerah  dalam  rangka  pelaksanaan  Otonomi  Daerah.
            Kondisi  aparatur  pemerintah  baik  didaerah  maupun  dipusat  sejak  lahirnya  kebijakan  otonomi  daerah,  kini  semakin  bingung  dan  menimbulkan  keraguan  akan  nasib  dan  pengembangan  kariernya  dimasa  depan.  Kesenjangan  antara  kehendak  peraturan  perundangan  dengan  pelaksanaannya  semakin  melebar  menjadi  bukti  bahwa  pemerintah  pusat masih setengah  hati  menyerahkan   kewenangannya.   Banyak   aparatur   selalu   dihinggapi  keraguan   apakah  instansinya  masih  dapat  eksis  atau  akan  dibubarkan  atau  dilikuidasi  dan  bagaimana  nasib  mereka.  Pertimbangan  lain  yang  selalu  muncul  dalam  benak  PNS  apakah  ia  masih  digunakan,  ditempatkan  didaerah  mana  atau  diberi pensiun  dini.  Topik  atau  issu  otonomi  daerah  ini  setiap  saat  menjadi  pergunjingan  kalangan  pegawai  yang  menanti  cemas  nasib  mereka  sehingga  tidak  jarang  ditemui  didalam  kantor-kantor  baik  pusat   maupun  di  daerah pegawai tidak  lagi  melaksanakan  tugas  pokoknya  dengan  baik  dan  sungguh-sungguh  karena  selalu  dihinggapi  kekhawatiran / kecemasan,  contoh  kasus  pembubaran  Departemen  Penerangan,  Departemen  Sosial  dan  lain-lain  yang  sampai  saat  ini  belum  ada  penyelesaian  secara  tuntas.
III.       PENATAAN  KELEMBAGAAN  DAN  PENGEMBANGAN  SUMBER  DAYA  APARTUR  DAERAH
            Dalam  rangka  penataan  kelembagaan  dan  pengembagaan  sumber  daya  aparatur  diperlukan  berbagai  pendekatan.  Kita  patut  memaklumi tentang teori manajemen moderen bahwa  untuk  mencapai  pemerintahan  yang  efisien  diperlukan  organisasi  yang  ramping,  tapi  perlu  diingat  bahwa  konsep  efisien  hanya  menyangkut  rasionalitas  intrumental  saja.  Bila  mengikuti  Weber,  rasionalitas  instrumental  merupakan  cara  dan  sarana  yang  paling  efisien  mencapai  tujuan.  Kalau  teori  ini  diikuti,  berarti kita  mengabaikan  segi  rasionalitas  nilai  tujuan  sehingga  tindakan  tersebut menjadi sangat  tidak  rasional.
            Pemda  yang  efektif  akan  mempertimbangkan  secara  seksama  tidak  hanya memikirkan  tujuan  yang  akan  dicapai  tetapi  juga  memikirkan  cara  dan  sarana  yang  digunakan  mencapai  tujuan  tersebut  berdasarkan  parameter  kuantitas,  etika  pemerintahan  dan  rasionalitas  nilai  pada  umumnya.  Oleh  karena  itu  penataan  kelembagaan  pemerintahan  terutama  di  Daerah,  dan  pengembangan  sumber  daya  manusia  aparatur  pemerintah  menjadi  sangat  urgen  untuk  dijadikan  langkah  didalam  menjawab  masalah  yang  dihadapi  sebagai  akibat  kebijakan  otonomi  daerah  yang  berimplikasi  pada  aparatur  pemerintahan.
            Implikasi   yang  sangat  berpengaruh  atas  kebijakan  otonomi  daerah  terhadap  aparatur  pemerintahan  adalah  Penataan  kelembagaan  berikut  sumber  daya  aparatur.  Sumber  daya  aparatur  Pemerintahan  dewasa  ini  selain  jumlahnya  masih  terkonsentrasi  di  pemerintah  pusat  juga  kualitas  kemampuan  dan  profesionalisme  yang  sangat  rendah  terutama  yang  ada  di daerah. Ada kecenderungan sumber daya  manusia   aparatur  pemerintahan  yang memiliki kemampuan  dan  keterampilan  yang  baik  selalu  berorientasi  bekerja  di  pusat-pusat  pemerintahan,  sedangkan  sumber daya manusia yang berkualitas rendah cenderung bertumpuk di  daerah. Celakanya karena perhatian terhadap pengembangan sumber daya  manusia didaerah  kurang  mendapatkan  porsi  yang  cukup  sejalan  dengan  tuntutan  kebutuhan.
            Contoh  kasus  pada  dua  puluh  enam  kabupaten  percontohan        se-Indonesia,  tampak  dari  sebuah  Kabupaten  percontohan  memiliki  400  pejabat  struktural  (terdiri dari eselon III, IV, V), ternyata lebih dari  separuhnya  tidak  diisi  oleh  orang-orang  dengan  kualifikasi  yang  sesuai.  Umpamanya Kepala Dinas Pertambangan diisi  oleh  seorang  sarjana  Sospol,  Kepala  Dinas  Pekerjaan  Umum  diisi  oleh  Sarjana  Hukum,  Kepala  Dinas  Pariwisata diisi oleh Insinyur Pertanian. Hal sama juga terjadi  di  Kabupaten / Kota  lainnya,  sehingga  kalau  dihitung  secara  kasar  saja,  maka  tidak  kurang  dari  5000-an  orang  pejabat  struktural  di  26  Kabupaten / Kota  belum  memiliki  kualifikasi  sesuai  dengan  jabatan  yang  diembannya.
            Fakta yang diungkapkan  diatas menjadi masalah yang  harus  dicarikan  jalan  keluar / pemecahan  masalah  kalau  tidak  ingin  ada  dampak  negatif  terhadap  kelancaran  jalannya  pelayanan  publik  sebagaimana  tujuan  desentralisasi  kewenangan  melalui  otonomi  daerah.  Disini tampak bahwa   peranan  lembaga  pendidikan  terasa  akan  sangat  berarti  baik  untuk  memberikan  bantuan  analisis  penataan  organisasi  dan  kelembagaan  maupun  untuk  “ meng Up Grade”  pejabat  yang  telah  duduk  didalam  jabatan  serta  memasok  tenaga-tenaga  baru  yang  akan  masuk  kedalam  jabatan-jabatan  dilingkungan  pemerintahan.
            Dari  pembahasan  didepan,  agaknya  cukup  jelas  terlihat  bahwa   penerapan  kebijakan  otonomi  daerah  ternyata  melahirkan  banyak  implikasi  terutama  pada  kelembagaan  dan  aparatur  pemerintahan.
            Sisi  kelembagaan  menjadi  masalah  yang  semakin  menonjol  karena   urusan  yang  diserahkan  pada  awalnya  hanya  berkisar  9  s/d  19  urusan  akan  berkembang  lebih  banyak.  Konsekwensinya  adalah  mengadakan lebih banyak  lembaga  Dinas  Daerah,  atau  Badan-badan  lain  yang  sejenis  untuk  menampung  urusan otonomi daerah.  Selain  itu  Departemen  dan  Kantor  Wilayah  yang  dilebur  membutuhkan penyaluran melalui  lembaga -lembaga    didaerah  yang  sesuai  dengan  tuntutan  kebutuhan  masing -masing  daerah.
            Berhubung  karena  rumitnya  penataan  kelembagaan  yang  harus  diselesaikan  oleh  daerah,  maka  diperlukan  dukungan  orang-orang  “ OD ” (Organizational  Development)  untuk  menanganinya,  disamping  koordinasi  yang  mantap  antara  lembaga  pemerintah  tingkat  pusat  maupun (Mempan, BAKN dan Departemen Teknis) dengan unsur  Pemerintah  Daerah, Gubernur, Walikota, Bupati dan DPRD Propinsi/DPRD Kabupaten/ Kota.
            Penataan  kelembagaan    tidak  mesti  selalu  seragam  antara  satu  daerah  dengan  daerah  lain,  demikian  juga  suatu  dinas  tertentu  tidak  mesti  harus  ada  disetiap  daerah  tetapi  disesuaikan  kebutuhan  dan  kemampuan  daerah  masing-masing.  Penggabungan  lembaga  pemerintah  pusat  yang  ada  di  daerah  seperti  Kanwil,  Kandep,  Kantor  pemerintah  dan  sebagainya  perlu  digabungkan  segera  masuk  kedalam  dinas  daerah  yang sejenis tanpa harus mengakibatkan PHK (Pemutusan  Hubungan  Kerja).
            Masalah  pengembangan  sumber  daya  aparatur  pemerintahan  menuntut  pemecahan  yang  tepat  dan  bijaksana,  karena  selain  harus  menghindari  PHK  terhadap  PNS  yang  masih  aktif  juga  diharapkan  masih  dapat dimanfaatkan setelah  melalui  peningkatan  kualitas  profesional.  Disinilah  letak  peranan  lembaga-lenbaga  pengelola  manajemen  sumber  daya  manusia  untuk  pembinaan  keterampilan  dan  pengetahuan,  baik  didalam  maupun  diluar  lingkungan  Departemen  Pemerintahan.
            Keterbatasan  lembaga  pendidikan  dan  latihan  pegawai  (DIKLAT)  yang  ada  di Pemerintahan  perlu  dicari  solusi  yang  tepat  sehingga  kapasitas  dan  jenis  pendidikan  dan  latihan  yang  diperlukan  dapat  ditanggulangi.,  Memperhatikan  besar  dan  kompleksnya  organisasi,  banyaknya  jumlah  aparatur  dan  tingginya  tuntutan  kualifikasi  pejabat  pemerintah  penyelenggara  otonomi  daerah,  maka  penanganan  pendidikannya  tidak  bisa lagi  dilakukan  semata-mata  oleh  lembaga-lembaga  Pendidikan  Kedinasan,  tetapi  perlu  dikeroyok  bersama-sama  oleh  lembaga-lembaga  pendidikan  lainnya. Seperti Universitas  yang  ada  di daerah.


IV. PENUTUP
            Demikianlah  telah  dibahas  secara singkat  kebijakan  Otonomi  Daerah  dengan  berbagai  implikasinya  terhadap  aparatur  pemerintahan.    Daerah  yang  menerima  urusan  pemerintahan  yang  begitu  luas  sesuai  dengan  Undang – Undang  No.  22  Tahun  1999  tentang  Pemerintahan  Daerah, memperoleh  implikasi yang lebih luas dengan permasalahan yang lebih kompleks lagi..
           
            Implikasi  yang  sangat  menonjol  adalah  masalah  kelembagaan  yang  di Pusat  menjadi  ramping  dan  di  Daerah  menjadi  besar  sehingga  memerlukan  penataan  yang  tepat  dengan  memperhatikan  bukan  hanya  aspek  efisiensi,  tapi  juga  aspek  nilai  yang  berdasarkan  etika  pemerintahan.
            Masalah  pengembangan  sumber  daya  aparatur  pemerintahan  menjadi  mencuak  karena  masalah  ini  sangat  erat  kaitannya  dengan  penyelenggaraan  kewenangan  yang  diserahkan  kepada  Daerah  sebagai  penerapan  Otonomi  Daerah.   Tugas  dan  tanggung  jawab  yang  akan  diemban  semakin  kompleks  yang  memerlukan  pengetahuan,  keterampilan  dan  professional.  Sementara  sumber  daya  manusia  di  Daerah  selain  jumlahnya  yang  kurang,  terlebih – lebih  kualitas  kompetensi  yang  dimiliki  untuk  mengisi  jabatan  yang  ada  sangat  tidak  sesuai.  Akibat  yang  ditimbulkan  adalah   terjadi  kesenjangan  antara  kebutuhan  dengan  ketersediaan  baik  dari  segi  jumlah  maupun  kualitas.  Untuk  itulah  lembaga  pendidikan  kedinasan  tidak  dapat  lagi  menutup  diri  untuk  bekerja  sendiri,  tetapi  harus  melibatkan  lembaga – lembaga  pendidikan  lainnya  dalam  menangani  pengembangan sumber  daya  manusia  aparatur  pemerintahan.
         Tanpa  persiapan  yang  matang  terutama  mengenai  kelembagaan  pemerintahan  di  Daerah  dan  sumber  daya  aparatur  pemerintahan  yang  memadai,  maka  pelaksanaan  Otonomi  Daerah  bisa  terancam  “ gagal ”.  Jangankan  peningkatan  kualitas  pelayanan  publik  yang  akan  dicapai,  malahan  yang  akan  terjadi  adalah  “ kesemrawutan   dan  kesimpangsiuran ”  serta  ketidak  beresan  nasional  di  sektor  pelayanan  masyarakat.
                                
                                


                                

Tidak ada komentar:

Posting Komentar