I. PENDAHULUAN
Ilmu - ilmu Pemerintahan melakukan analisis mengenai aspek-aspek nyata serta persyaratan pemerintahan sebagaimana adanya.Ilmu–ilmu Pemerintahan sudah puas bila dapat menjelaskan suatu proses pemerintahan yang sesuai atau menyimpang dari azas atau hukum yang menjadi landasannya.
Berbeda dengan filsafat, tidak puas dengan analisis atau kesimpulan seperti itu, filsafat masih mempertanyakan mengapa analisis atau kesimpulan seperti itu dikaji apakah ada sesuatu yang mendorong ke arah itu, apakah dibelakang proses yang terjadi yang mmempengaruhi aparatur pemerintahan mengambil kesimpulan atau kebijakan seperti itu. Atau apakah tidak ada kebenaran lain dibelakang apa yang disimpulkan, serta adakah pertimbangan lain yang menuju pada hakikat (essensi) dari segala sesuatu aspek dan kejadian pemerintahan yang disusun dengan sistem desentralisasi atau Otonomi Daerah.
Pemerintah pada hakikatnya adalah pelayanan kepada masyarakat, Pemerintahan tidaklah diadakan untuk melayani dirinya sendiri tetapi untuk melayani masyarakat. Pemerintah harus mampu menciptakan kondisi yang memungkinkan setiap anggota masyarakat dapat mengembangkan kemampuan dan kreatifitasnya demi mencapai kemajuan bersama. Oleh karena itu pemerintahan modern apalagi di era globalisasi ini, perlu semakin didekatkan kepada masyarakat sehingga pelayanan yang diberikannya menjadi semakin baik (the closer government, the better is services).
Dalam teori Ilmu Pemerintahan, salah satu cara untuk mendekatkan pemerintah kepada masyarakat adalah dengan menerapkan kebijakan otonomi. Essensinya kalau pemerintahan berada dalam jangkauan masyarakat, maka pelayanan yang diberikan menjadi lebih cepat, hemat, responsive, akomodatif, inovatif dan produktif.
Secara konstitusional, Pemerintah Indonesia di era reformasi dewasa ini cukup memperhatikan pentingnya menerapkan strategi desentralisasi dengan melahirkan Undang - Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, Undang – undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat.
Dalam Undang - Undang tersebut ditegaskan bahwa dengan pemberian otonomi kepada Daerah, maka seluruh kewenangan Daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang Pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiscal, agama, serta kewenangan bidang lain. Pada bagian lain dalam Undang – Undang tersebut juga ditegaskan bahwa otonomi yang diberikan adalah bersifat kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam kerangka Negara Kesatuan RI.
Kebijakan Otonomi yang didasarkan pada Undang – Undang No. 22 Tahun 1999 tersebut menimbulkan implikasi yang sangat luas terhadap penyelenggaraan pemerintahan Daerah, salah satu yang sangat dominan adalah aparatur pemerintah sebagai pelaksana dan penyelenggara kebijakan tersebut. Sejak pemerintahan Orde Baru aparatur pemerintah yang disebut Pegawai Negeri Sipil dan ABRI semua terkonsentrasi di Pusat baik pengangkatan, penempatan, pemindahan dan mutasi, maupun pemberhentian. Sedangkan dalam sistem Otonomi Daerah PNS yang bekerja di Daerah sepenuhnya menjadi kebijakan Daerah. Berdasarkan realitas PNS yang ada di Daerah dewasa ini, baik jumlah maupun kualitas sangat kurang dibandingkan dengan kebutuhan.
Apabila kehendak menerapkan Otonomi Daerah secara sungguh – sungguh, maka Lembaga – lembaga Pemerintahan Daerah membutuhkan tidak hanya jumlah aparatur yang lebih besar, tetapi juga tuntutan akan keterampilan dan pengetahuan yang sesuai dengan kebutuhan organisasi menjadi lebih tinggi.
Dalam hubungan bagaimana realitas / gejala empiris tersebut dikaji, Penulis mencoba mendekati dengan metode induktif dari hal – hal yang khusus tersebut ke hal – hal yang umum sehingga dapat ditemukan apa yang menjadi implikasi kebijakan Otonomi Daerah terhadap aparatur pemerintahan.
II. KENDALA YANG DIHADAPI APARATUR PEMERINTAH DALAM PENERAPAN OTONOMI DAERAH.
Sebagaimana telah disinggung dimuka, kebijakan otonomi Daerah memiliki implikasi yang luas, khususnya terhadap aparatur pemerintahan. Terjadinya penyerahan kewenangan yang begitu luas menjadikan hampir semua urusan pemerintahan ditangani daerah, sementara kelembagaan di Daerah Kabupaten dan Kota belum memadai sehingga lahir tuntutan penambahan jumlah lembaga Dinas Daerah, berikut peningkatan kebutuhan jumlah aparatur pemerintah daerah serta kualifikasi kepemimpinan dan propesionalisme yang tinggi. Padahal disisi lain kelembagaan ditingkat pusat semakin cenderung membentuk perilaku sentralistis dan bahkan mengembangkan sayapnya ke daerah-daerah, dengan membentuk badan atau lembaga sejenisnya yang bersifat dekonsentrasi.
Undang-undang No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, telah mengamanatkan bahwa undang-undang ini terapkan secara efektif selambat-lambatnya dalam waktu dua tahun sejak ditetapkannya ( pasal 132 ), yaitu tanggal 7 Mei 2001. Namun kenyataan dilapangan kesiapan untuk penerapan secara penuh undang-undang tersebut masih jauh dari harapan. Salah satu contoh bahwa lembaga-lembaga pusat yang dikonsentrasikan di Daerah ternyata masih berjalan seperti biasa belum ada perubahan sama sekali, sedangkan ketentuannya harus sudah hapus atau dilikuidasi kedalam Dinas - Dinas Daerah yang sejenis. Demikian juga mengenai aparatur sama sekali belum ada penyelesaian baik penyerahan, penempatan maupun pengurusannya masih sepenuhnya ditangani oleh Pemerintah Pusat ( sentralistis ), pembiayaan dalam rangka Otonomi Daerah yang semestinya juga diserahkan ke Daerah secara penuh, tapi ternyata dalam APBN Tahun 2000 dan RAPBN Tahun 2001 belum mencerminkan penerapan Otonomi Daerah secara sungguh – sungguh, pada hal masa berlaku efektifnya dimulai bulan Januari Tahun 2001.
Kendala yang diuraikan tadi semuanya berimplikasi pada aparatur pemerintah yang dalam keseharian bertugas dan berkewajiban menyelenggarakan pemerintahan daerah dalam rangka pelaksanaan Otonomi Daerah.
Kondisi aparatur pemerintah baik didaerah maupun dipusat sejak lahirnya kebijakan otonomi daerah, kini semakin bingung dan menimbulkan keraguan akan nasib dan pengembangan kariernya dimasa depan. Kesenjangan antara kehendak peraturan perundangan dengan pelaksanaannya semakin melebar menjadi bukti bahwa pemerintah pusat masih setengah hati menyerahkan kewenangannya. Banyak aparatur selalu dihinggapi keraguan apakah instansinya masih dapat eksis atau akan dibubarkan atau dilikuidasi dan bagaimana nasib mereka. Pertimbangan lain yang selalu muncul dalam benak PNS apakah ia masih digunakan, ditempatkan didaerah mana atau diberi pensiun dini. Topik atau issu otonomi daerah ini setiap saat menjadi pergunjingan kalangan pegawai yang menanti cemas nasib mereka sehingga tidak jarang ditemui didalam kantor-kantor baik pusat maupun di daerah pegawai tidak lagi melaksanakan tugas pokoknya dengan baik dan sungguh-sungguh karena selalu dihinggapi kekhawatiran / kecemasan, contoh kasus pembubaran Departemen Penerangan, Departemen Sosial dan lain-lain yang sampai saat ini belum ada penyelesaian secara tuntas.
III. PENATAAN KELEMBAGAAN DAN PENGEMBANGAN SUMBER DAYA APARTUR DAERAH
Dalam rangka penataan kelembagaan dan pengembagaan sumber daya aparatur diperlukan berbagai pendekatan. Kita patut memaklumi tentang teori manajemen moderen bahwa untuk mencapai pemerintahan yang efisien diperlukan organisasi yang ramping, tapi perlu diingat bahwa konsep efisien hanya menyangkut rasionalitas intrumental saja. Bila mengikuti Weber, rasionalitas instrumental merupakan cara dan sarana yang paling efisien mencapai tujuan. Kalau teori ini diikuti, berarti kita mengabaikan segi rasionalitas nilai tujuan sehingga tindakan tersebut menjadi sangat tidak rasional.
Pemda yang efektif akan mempertimbangkan secara seksama tidak hanya memikirkan tujuan yang akan dicapai tetapi juga memikirkan cara dan sarana yang digunakan mencapai tujuan tersebut berdasarkan parameter kuantitas, etika pemerintahan dan rasionalitas nilai pada umumnya. Oleh karena itu penataan kelembagaan pemerintahan terutama di Daerah, dan pengembangan sumber daya manusia aparatur pemerintah menjadi sangat urgen untuk dijadikan langkah didalam menjawab masalah yang dihadapi sebagai akibat kebijakan otonomi daerah yang berimplikasi pada aparatur pemerintahan.
Implikasi yang sangat berpengaruh atas kebijakan otonomi daerah terhadap aparatur pemerintahan adalah Penataan kelembagaan berikut sumber daya aparatur. Sumber daya aparatur Pemerintahan dewasa ini selain jumlahnya masih terkonsentrasi di pemerintah pusat juga kualitas kemampuan dan profesionalisme yang sangat rendah terutama yang ada di daerah. Ada kecenderungan sumber daya manusia aparatur pemerintahan yang memiliki kemampuan dan keterampilan yang baik selalu berorientasi bekerja di pusat-pusat pemerintahan, sedangkan sumber daya manusia yang berkualitas rendah cenderung bertumpuk di daerah. Celakanya karena perhatian terhadap pengembangan sumber daya manusia didaerah kurang mendapatkan porsi yang cukup sejalan dengan tuntutan kebutuhan.
Contoh kasus pada dua puluh enam kabupaten percontohan se-Indonesia, tampak dari sebuah Kabupaten percontohan memiliki 400 pejabat struktural (terdiri dari eselon III, IV, V), ternyata lebih dari separuhnya tidak diisi oleh orang-orang dengan kualifikasi yang sesuai. Umpamanya Kepala Dinas Pertambangan diisi oleh seorang sarjana Sospol, Kepala Dinas Pekerjaan Umum diisi oleh Sarjana Hukum, Kepala Dinas Pariwisata diisi oleh Insinyur Pertanian. Hal sama juga terjadi di Kabupaten / Kota lainnya, sehingga kalau dihitung secara kasar saja, maka tidak kurang dari 5000-an orang pejabat struktural di 26 Kabupaten / Kota belum memiliki kualifikasi sesuai dengan jabatan yang diembannya.
Fakta yang diungkapkan diatas menjadi masalah yang harus dicarikan jalan keluar / pemecahan masalah kalau tidak ingin ada dampak negatif terhadap kelancaran jalannya pelayanan publik sebagaimana tujuan desentralisasi kewenangan melalui otonomi daerah. Disini tampak bahwa peranan lembaga pendidikan terasa akan sangat berarti baik untuk memberikan bantuan analisis penataan organisasi dan kelembagaan maupun untuk “ meng Up Grade” pejabat yang telah duduk didalam jabatan serta memasok tenaga-tenaga baru yang akan masuk kedalam jabatan-jabatan dilingkungan pemerintahan.
Dari pembahasan didepan, agaknya cukup jelas terlihat bahwa penerapan kebijakan otonomi daerah ternyata melahirkan banyak implikasi terutama pada kelembagaan dan aparatur pemerintahan.
Sisi kelembagaan menjadi masalah yang semakin menonjol karena urusan yang diserahkan pada awalnya hanya berkisar 9 s/d 19 urusan akan berkembang lebih banyak. Konsekwensinya adalah mengadakan lebih banyak lembaga Dinas Daerah, atau Badan-badan lain yang sejenis untuk menampung urusan otonomi daerah. Selain itu Departemen dan Kantor Wilayah yang dilebur membutuhkan penyaluran melalui lembaga -lembaga didaerah yang sesuai dengan tuntutan kebutuhan masing -masing daerah.
Berhubung karena rumitnya penataan kelembagaan yang harus diselesaikan oleh daerah, maka diperlukan dukungan orang-orang “ OD ” (Organizational Development) untuk menanganinya, disamping koordinasi yang mantap antara lembaga pemerintah tingkat pusat maupun (Mempan, BAKN dan Departemen Teknis) dengan unsur Pemerintah Daerah, Gubernur, Walikota, Bupati dan DPRD Propinsi/DPRD Kabupaten/ Kota.
Penataan kelembagaan tidak mesti selalu seragam antara satu daerah dengan daerah lain, demikian juga suatu dinas tertentu tidak mesti harus ada disetiap daerah tetapi disesuaikan kebutuhan dan kemampuan daerah masing-masing. Penggabungan lembaga pemerintah pusat yang ada di daerah seperti Kanwil, Kandep, Kantor pemerintah dan sebagainya perlu digabungkan segera masuk kedalam dinas daerah yang sejenis tanpa harus mengakibatkan PHK (Pemutusan Hubungan Kerja).
Masalah pengembangan sumber daya aparatur pemerintahan menuntut pemecahan yang tepat dan bijaksana, karena selain harus menghindari PHK terhadap PNS yang masih aktif juga diharapkan masih dapat dimanfaatkan setelah melalui peningkatan kualitas profesional. Disinilah letak peranan lembaga-lenbaga pengelola manajemen sumber daya manusia untuk pembinaan keterampilan dan pengetahuan, baik didalam maupun diluar lingkungan Departemen Pemerintahan.
Keterbatasan lembaga pendidikan dan latihan pegawai (DIKLAT) yang ada di Pemerintahan perlu dicari solusi yang tepat sehingga kapasitas dan jenis pendidikan dan latihan yang diperlukan dapat ditanggulangi., Memperhatikan besar dan kompleksnya organisasi, banyaknya jumlah aparatur dan tingginya tuntutan kualifikasi pejabat pemerintah penyelenggara otonomi daerah, maka penanganan pendidikannya tidak bisa lagi dilakukan semata-mata oleh lembaga-lembaga Pendidikan Kedinasan, tetapi perlu dikeroyok bersama-sama oleh lembaga-lembaga pendidikan lainnya. Seperti Universitas yang ada di daerah.
IV. PENUTUP
Demikianlah telah dibahas secara singkat kebijakan Otonomi Daerah dengan berbagai implikasinya terhadap aparatur pemerintahan. Daerah yang menerima urusan pemerintahan yang begitu luas sesuai dengan Undang – Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, memperoleh implikasi yang lebih luas dengan permasalahan yang lebih kompleks lagi..
Implikasi yang sangat menonjol adalah masalah kelembagaan yang di Pusat menjadi ramping dan di Daerah menjadi besar sehingga memerlukan penataan yang tepat dengan memperhatikan bukan hanya aspek efisiensi, tapi juga aspek nilai yang berdasarkan etika pemerintahan.
Masalah pengembangan sumber daya aparatur pemerintahan menjadi mencuak karena masalah ini sangat erat kaitannya dengan penyelenggaraan kewenangan yang diserahkan kepada Daerah sebagai penerapan Otonomi Daerah. Tugas dan tanggung jawab yang akan diemban semakin kompleks yang memerlukan pengetahuan, keterampilan dan professional. Sementara sumber daya manusia di Daerah selain jumlahnya yang kurang, terlebih – lebih kualitas kompetensi yang dimiliki untuk mengisi jabatan yang ada sangat tidak sesuai. Akibat yang ditimbulkan adalah terjadi kesenjangan antara kebutuhan dengan ketersediaan baik dari segi jumlah maupun kualitas. Untuk itulah lembaga pendidikan kedinasan tidak dapat lagi menutup diri untuk bekerja sendiri, tetapi harus melibatkan lembaga – lembaga pendidikan lainnya dalam menangani pengembangan sumber daya manusia aparatur pemerintahan.
Tanpa persiapan yang matang terutama mengenai kelembagaan pemerintahan di Daerah dan sumber daya aparatur pemerintahan yang memadai, maka pelaksanaan Otonomi Daerah bisa terancam “ gagal ”. Jangankan peningkatan kualitas pelayanan publik yang akan dicapai, malahan yang akan terjadi adalah “ kesemrawutan dan kesimpangsiuran ” serta ketidak beresan nasional di sektor pelayanan masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar